Sunday 12 February 2017

Tujuan Akhir: Museum BPK RI, Magelang. 11 Feb 2017.

Alhamdulillah.. Ngadep komputer lagi, ngeblog lagi, bingung lagi.. Iya, seperti biasa, memulai adalah hal tersulit dan membingungkan. Termasuk memilih rangkaian kalimat untuk mengisi artikel blog kali ini, meskipun isinya masih tentang persepedaan di seputar Kota Magelang. Jadi apapun yang terjadi kegiatan gowes harus tertuang di artikel blog. Seperti kata Freddie Mercury, "The show must go on..", yang artinya kurang lebih "mangan ora mangan sing penting ngumpul". Ngawur....

Okey let's go, Gentlemen..!!

Pagi itu kami berlima mengadakan ritual gowes di seputaran Kota Magelang saja. Kami berkumpul di mini market di daerah Kupatan. Kira-kira pukul 07.30 WIB aku dan Om Yusuf datang paling awal, tidak lama kemudian nampak Om Prast mendatangi lokasi. Yang paling datang terakhir yaitu Om Noor, karena harus mengantar anak ke sekolah dulu. Sementara Om Doni nyegat kami di depan GOR di Sanden. Sebelum berangkat, kami mengecek sepeda hanya sekedar memastikan bahwa sepeda layak digowes.

Cek sepeda Om Noor.

Setelah yakin oke dan terkendali, kami pun mulai bergerak menuju arah barat sampai di aliran sungai Kali Bening. Kemudian belok kiri melewati Perum Korpri, dan terus saja hingga sampai di depan GOR. Di sini Om Doni sudah menunggu. Rupanya ada bapak-bapak pesepeda yang sedang istirahat di situ. Kalau tidak salah para bapak tersebut dari daerah Pakelan.

Para goweser senior dan Om Doni tampak jauh di belakang. Elu sih Don, pose jauh amat...

Lalu kami berlima melanjutkan kayuhan pedal ke arah selatan sampai Kampung Dumpoh, dekat Universitas Negeri Tidar. Kemudian belok kanan sampai ke jembatan gantung Sungai Progo. Rupanya jalan menuju jembatan ini cukup sempit dan menurun curam, jadi harus ekstra hati-hati kalau tidak ingin kepleset.

Jalan sempit dari Kampung Dumpoh menuju jembatan gantung Kali Progo.

Tim Ngepit melintas jembatan. Om Doni ketutup pohon di belakang. Elu sih Don, pose jauh amat..

Jembatan gantung Kali Progo di Dumpoh dilihat dari sisi barat sungai.

Narsis sebentar setelah melewati jembatan. Ki-ka: aku, Yusuf, Doni, Noor. Foto by Om Prast.

Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju desa Mlagen. Di sini terdapat satu tanjakan yang lumayan dahsyat, semua gear ringan terpakai dengan lancarnya. Maklum, kami hanya goweser level hobi, bukan atlet. Hehehe... Dan karena penasaran dengan kondisi tanjakan ini, maka aku pun cek di Strava. Hasilnya adalah angka-angka seperti di caption foto berikut. Sebetulnya aku tidak begitu paham hasil data tersebut, terutama angka 'grade', opo to iki? Kalau ada di antara pembaca yang paham monggo silakan share ilmunya di kolom komentar...

Tanjakan di Desa Mlagen. Foto by Om Doni, data by Strava.

Narsis lagi selepas tanjakan Mlagen, sekaligus istirahat. Capek brooo...

Tanpa berlama-lama istirahat selepas tanjakan Mlagen, kami lanjut gowes menuju Desa Plikon. Dari sini jalanan didominasi turunan hingga sampai jalan raya Magelang - Bandongan. Sesampainya di jalan raya ini kami belok kiri menuju arah kota. Sebelum masuk kota, sekali lagi kami menyeberang Kali Progo dan dihadapkan dengan satu tanjakan yang lebih dahsyat, yaitu tanjakan Meteseh. Wis jyan tobat tenan... Belum juga hilang capeknya, kami sudah harus gowes ngos-ngosan lagi. Duh Gusti, paringono kiyat... Melibas tanjakan ini gear sepedaku aku pasang di posisi paling ringan, baik gear depan atau belakang. Dengan kombinasi depan-belakang 22-32 rasanya masih berat mengayuh pedal, aku cuma bisa berkhayal saat itu sepedaku terpasang gear 22-34, pasti akan lebih enteng. Di tanjakan ini Om Noor dan Om Prast sudah jauh di depan, sementara kami bertiga tertinggal di belakang.

Data by Strava.

Karena tenaga sudah terkuras banyak, kami pun menuju warung makan. Kami memilih warung makan sop snerek Bu Atmo karena cukup dekat dari posisi kami saat itu, tentu saja di samping rasanya yang memang terkenal enak dan gurih. Kami semua ditraktir Om Noor. 

Sampai di depan warung Bu Atmo.

Siap-siap menyantap sop snerek dan es beras kencur. Foto by Om Yusup.

Setelah kenyang, kami lanjut menggowes. Dari warung ini kami menuju Museum BPK RI yang masih satu komplek dengan Karesidenan Kedu. Lebih tepatnya museum tersebut berada di sini. Memasuki area museum, kami menggenjot sepeda memutari halaman kemudian memarkir sepeda di sisi utara. Di sini kami disambut ramah petugas museum yang kami malah lupa menanyakan siapa nama beliau. Obyek pertama yang menarik perhatian kami adalah mobil Volvo 960 GL yang terparkir dengan gagahnya di salah satu sudut museum. Menurut petugas yang menemani kami, mobil keluaran sekitar tahun 1994 ini dulu adalah milik Bapak M. Jusuf, mantan Ketua BPK. Kondisi mobil ini masih sangat bagus, menunjukkan bahwa mobil ini terawat dengan baik. Bahkan - kalau tidak salah - ketika aku mengintip interiornya tampak samar odometernya baru menyentuh angka 5.250an kilometer, padahal umur mobil ini sudah 23 tahun. Wow..!!


Kami disambut ramah oleh para petugas Museum BPK RI.

Ganteng amat ni mobil... Foto by Om Doni.

Petugas menemani kami sambil bercerita perihal mobil Ketua BPK RI.

Setelah puas memandangi Volvo hitam itu, kami menuju area pameran foto Magelang tempo dulu. Kami masuk ke suatu ruang di mana banyak foto yang mampu bercerita tentang kondisi Magelang pada jaman dahulu. Seingatku, foto tertua adalah foto kondisi Magelang tahun 1920an. Sayang, di sini ada larangan tidak boleh memotret, jadinya aku tidak berani memotret ulang foto-foto tersebut.


Nonton pameran yuuukk...

Foto-foto Magelang tempo doeloe.



Dari ruang pameran foto ini kami memasuki ruang lain. Di sini tersimpan beberapa bukti sejarah BPK RI, termasuk satu buah radio merk Sony pemberian Duta Besar Jepang kepada M. Jusuf ketika menjabat Ketua BPK.


Radio merk Sony jaman dulu, radio yang aku yakin sudah berteknologi canggih di jamannya.

Tanpa terasa hari sudah semakin siang. Maka kami pun memutuskan mengakhiri gowes kali ini. Namun tidak lupa sebelum meninggalkan museum, kami berpose sebentar di depan museum. Namanya juga artis....


Narsis lagi. Ki-ka: Yusuf, Noor, Doni, Prast, aku.

Berikut rangkuman gowes kali ini menurut data dari Strava.



Sunday 5 February 2017

Petilasan Prasasti Mantyasih, Kota Magelang. Minggu, 29 Januari 2017.


Gara-gara melihat unggahan status teman di facebook bahwa dia dan kantornya, Dinas Perpustakaan Kota Magelang, sedang berpose dengan latar belakang panggung terbuka di area Petilasan Prasasti Mantyasih, aku pun jadi penasaran di mana sebenarnya lokasi tersebut berada. Kata temanku lokasinya gampang dicapai, masih di dalam Kota Magelang, tepatnya di Kampung Meteseh. Atau gampangnya dari Dinas Pendidikan Kota Magelang kita bisa melewati Gapura Meteseh terus saja ikuti jalan menurun sampai mentok, pasti akan ketemu.

Pada kesempatan gowes kali ini aku dan Om Yusup sepakat untuk gowes kota-kota saja, sekalian saja kami menuju lokasi petilasan tersebut.

Kami start dari Payaman menuju Desa Bugel kemudian lanjut ke Perum Depkes mau menjemput Om Didit dan Om Prast, tapi keduanya tidak bisa ikut. Om Didit sedang ga enak badan, Om Prast ada keperluan keluarga. Akhirnya di acara gowes ini hanya kami berdua saja, aku dan Om Yusuf.

Melewati jalan sepi menuju Desa Bugel.

Dari Perum Depkes kami menuju Perum Korpri dan Stadion dr. H. Moch. Soebroto, stadion sepak bola kebanggaan warga Magelang. Jalan tembus dari Perum Korpri sampai stadion sebenarnya sudah diaspal dan cukup lebar, aku rasa cukup kalau dilewati mobil. Tapi sayang belum sepenuhnya tergarap, beberapa meter dari Perum Korpri masih berupa jalan setapak sempit yang hanya bisa dilalui maksimal sepeda motor.

Jalan tembus yang sudah diaspal.


Sesi foto di stadion sepak bola.


Dari stadion ini kami lanjut mengayuh pedal ke arah selatan menuju Kampung Dumpoh, lanjut ke Kampung Botton menyusuri Kali Bening, hingga tiba tepat di jalan raya penghubung Magelang dan Bandongan. Di sini kami mengambil arah kanan turun melalui gapura Kampung Meteseh untuk menuju area Petilasan Prasasti Mantyasih.

Rupanya benar kata temanku, petilasan ini sangat mudah dicapai. Tapi agak repot jika berkunjung ke sini memakai mobil diakarenakan tidak adanya area parkir untuk mobil. Kalau untuk motor atau sepeda tentu tidak jadi masalah.

Setiba di lokasi kami melihat area terbuka yang tertata rapi. Di sini terdapat sebuah batu besar yang dipakai sebagai penanda petilasan Prasasti Mantyasih, sekaligus pertanda hari jadi Kota Magelang.

Batu penanda petilasan Prasasti Mantyasih.

Dilihat dari dekat.

Mantyasih yang berarti "beriman dalam cinta kasih" adalah nama desa perdikan (desa bebas pajak) pada jaman Mataram Kuna. Kalau tidak salah penetapan desa perdikan ini dilaksanakan pada masa pemerintahan Raja Balitung pada tahun 907 M. Dan hingga saat ini istilah Mantyasih berubah menjadi nama Desa Meteseh.

Masih di area ini, terdapat relief yang sepertinya mengisahkan cerita Kerajaan Mataram Kuna. Relief ini tepat berseberangan dengan gerbang masuk ke panggung terbuka dan Pendopo Mantyasih. Di lokasi ini pula terdapat mushola dan sebuah makam seorang perempuan bernama Nyai Roro Ayu Utari. Siapakah dia? Entahlah, tidak terdapat papan informasi di sekitar makamnya.


Relief di tembok.

Gapura gerbang masuk ke lokasi. Serasa kembali ke masa lalu.

Panggung terbuka.

Pendopo Mantyasih.

Terdapat mushola di lokasi.

Makam di halaman mushola.


Tampak area petilasan dilihat dari atas panggung.

Ketika kami hendak pulang ada seorang pria yang datang menghampiri. Rupanya dia adalah penanggung jawab petilasan ini, namanya Mas Bangun kalau tidak salah. Mas Bangun mempersilahkan kami mengisi buku tamu. Kemudian dia bercerita banyak perihal sejarah Kota Magelang. Bahkan Mas Bangun berencana menghidupkan lokasi ini agar makin dikenal warga dan bisa menjadi wisata edukatif. Salah satu caranya dia ingin mengadakan acara sepeda santai dengan mengambil start dari lokasi petilasan ini. Semoga acara ini dapat terwujud ya mas..

Mengisi buku tamu dulu ya...

Setelah cukup banyak kami mengobrol dan sepertinya matahari semakin terasa panas sengatannya, kami pun pamit. Perjalanan pulang sudah disambut dengan tanjakan dahsyat, yaitu dari lokasi hingga tiba ke jalan raya. Sesampainya di jalan raya kami melanjutkan gowes sampai ke Potrobangsan untuk sarapan soto. Rupanya semangkok soto sudah mampu mengembalikan energi kami untuk melanjutkan kayuhan pedal menuju rumah. Pulang...

Tanjakan terakhir sebelum pulang. Dari lokasi menuju ke jalan raya.

Sarapan soto di Potrobangsan.

Friday 3 February 2017

Gowes Mbanglampir, 15 Januari 2017.

Terowongan alami. Foto: Masyoga.

Acara sepedaan kali ini dimeriahkan oleh tiga goweser handal, yaitu Om Prast, Om Yoga dan Om Didit. Aku tidak ikut karena ada keperluan lain..

Tikum pagi hari di Perum Depkes, lebih tepatnya di bunderan Armada Estate. Tim berangkat menyusuri sepanjang Kali Bening ke arah selatan sampai daerah Meteseh. Kemudian turun menuju Desa Plikon menyeberangi Kali Progo. Kemudian belok kiri ke Desa Banyuwangi. Dari sini terus saja mengikuti jalan hingga sampai di daerah Mbanglampir.

Belakangan ini Mbanglampir memang terkenal di kalangan penghobi selfie, mungkin karena terdapat suatu jalan yang dinaungi pepohonan sehingga nampak seperti terowongan. View yang bagus ini tidak disia-siakan tim Ulala ketika sampai di lokasi untuk berfoto ria.. Hahahaha... Mantep deh, Om.

Setelah puas bernarsis ria, tim melanjutkan kayuhan pedal ke arah Salam Kanci untuk kemudian belok kiri menuju Pakelan. Terus lanjut menuju kota dan akhirnya pulang ke rumah masing-masing.

Berikut foto-fotonya. All photo by Masyoga. Silakan..





Ini kok bisa kompak ya?