Sunday 5 February 2017

Petilasan Prasasti Mantyasih, Kota Magelang. Minggu, 29 Januari 2017.


Gara-gara melihat unggahan status teman di facebook bahwa dia dan kantornya, Dinas Perpustakaan Kota Magelang, sedang berpose dengan latar belakang panggung terbuka di area Petilasan Prasasti Mantyasih, aku pun jadi penasaran di mana sebenarnya lokasi tersebut berada. Kata temanku lokasinya gampang dicapai, masih di dalam Kota Magelang, tepatnya di Kampung Meteseh. Atau gampangnya dari Dinas Pendidikan Kota Magelang kita bisa melewati Gapura Meteseh terus saja ikuti jalan menurun sampai mentok, pasti akan ketemu.

Pada kesempatan gowes kali ini aku dan Om Yusup sepakat untuk gowes kota-kota saja, sekalian saja kami menuju lokasi petilasan tersebut.

Kami start dari Payaman menuju Desa Bugel kemudian lanjut ke Perum Depkes mau menjemput Om Didit dan Om Prast, tapi keduanya tidak bisa ikut. Om Didit sedang ga enak badan, Om Prast ada keperluan keluarga. Akhirnya di acara gowes ini hanya kami berdua saja, aku dan Om Yusuf.

Melewati jalan sepi menuju Desa Bugel.

Dari Perum Depkes kami menuju Perum Korpri dan Stadion dr. H. Moch. Soebroto, stadion sepak bola kebanggaan warga Magelang. Jalan tembus dari Perum Korpri sampai stadion sebenarnya sudah diaspal dan cukup lebar, aku rasa cukup kalau dilewati mobil. Tapi sayang belum sepenuhnya tergarap, beberapa meter dari Perum Korpri masih berupa jalan setapak sempit yang hanya bisa dilalui maksimal sepeda motor.

Jalan tembus yang sudah diaspal.


Sesi foto di stadion sepak bola.


Dari stadion ini kami lanjut mengayuh pedal ke arah selatan menuju Kampung Dumpoh, lanjut ke Kampung Botton menyusuri Kali Bening, hingga tiba tepat di jalan raya penghubung Magelang dan Bandongan. Di sini kami mengambil arah kanan turun melalui gapura Kampung Meteseh untuk menuju area Petilasan Prasasti Mantyasih.

Rupanya benar kata temanku, petilasan ini sangat mudah dicapai. Tapi agak repot jika berkunjung ke sini memakai mobil diakarenakan tidak adanya area parkir untuk mobil. Kalau untuk motor atau sepeda tentu tidak jadi masalah.

Setiba di lokasi kami melihat area terbuka yang tertata rapi. Di sini terdapat sebuah batu besar yang dipakai sebagai penanda petilasan Prasasti Mantyasih, sekaligus pertanda hari jadi Kota Magelang.

Batu penanda petilasan Prasasti Mantyasih.

Dilihat dari dekat.

Mantyasih yang berarti "beriman dalam cinta kasih" adalah nama desa perdikan (desa bebas pajak) pada jaman Mataram Kuna. Kalau tidak salah penetapan desa perdikan ini dilaksanakan pada masa pemerintahan Raja Balitung pada tahun 907 M. Dan hingga saat ini istilah Mantyasih berubah menjadi nama Desa Meteseh.

Masih di area ini, terdapat relief yang sepertinya mengisahkan cerita Kerajaan Mataram Kuna. Relief ini tepat berseberangan dengan gerbang masuk ke panggung terbuka dan Pendopo Mantyasih. Di lokasi ini pula terdapat mushola dan sebuah makam seorang perempuan bernama Nyai Roro Ayu Utari. Siapakah dia? Entahlah, tidak terdapat papan informasi di sekitar makamnya.


Relief di tembok.

Gapura gerbang masuk ke lokasi. Serasa kembali ke masa lalu.

Panggung terbuka.

Pendopo Mantyasih.

Terdapat mushola di lokasi.

Makam di halaman mushola.


Tampak area petilasan dilihat dari atas panggung.

Ketika kami hendak pulang ada seorang pria yang datang menghampiri. Rupanya dia adalah penanggung jawab petilasan ini, namanya Mas Bangun kalau tidak salah. Mas Bangun mempersilahkan kami mengisi buku tamu. Kemudian dia bercerita banyak perihal sejarah Kota Magelang. Bahkan Mas Bangun berencana menghidupkan lokasi ini agar makin dikenal warga dan bisa menjadi wisata edukatif. Salah satu caranya dia ingin mengadakan acara sepeda santai dengan mengambil start dari lokasi petilasan ini. Semoga acara ini dapat terwujud ya mas..

Mengisi buku tamu dulu ya...

Setelah cukup banyak kami mengobrol dan sepertinya matahari semakin terasa panas sengatannya, kami pun pamit. Perjalanan pulang sudah disambut dengan tanjakan dahsyat, yaitu dari lokasi hingga tiba ke jalan raya. Sesampainya di jalan raya kami melanjutkan gowes sampai ke Potrobangsan untuk sarapan soto. Rupanya semangkok soto sudah mampu mengembalikan energi kami untuk melanjutkan kayuhan pedal menuju rumah. Pulang...

Tanjakan terakhir sebelum pulang. Dari lokasi menuju ke jalan raya.

Sarapan soto di Potrobangsan.

No comments:

Post a Comment